Assalaamu alaikum wa rahmatullaahi wa barkaatuhu..
Saudaraku yang
dirahmati ALLAH, pada hakikatnya, kehidupan dunia adalah cermin kehidupan di
akhirat kelak. Apa yang akan kita alami di akhirat nanti sesungguhnya sudah
tergambar dalam kehidupan dunia, kendati apa yang akan terjadi di akhirat kelak
masih merupakan rahasia ALLAH SWT. Kita sendiri sesungguhnya sudah bisa
merasakan, atau tepatnya menyadari, di tempat seperti apakah pantasnya kita
berada di akhirat nanti. Pantaskah kita berada di surga-Nya dengan perilaku
kita di dunia yang seperti ini?
Saudaraku, perkara
dunia cenderung mengarah kepada ketidakbahagiaan. Semakin dunia dikejar,
semakin ia membuat kita letih dan tidak bahagia. Sebab, tujuan akhir dari
pencapaian duniawi adalah kepuasan nafsu semata yang sifatnya hanya sesaat.
Kenikmatan duniawi tak ada ujungnya. Setiap kita merasa telah mencapai puncak,
akan muncul keinginan untuk mencapai puncak yang lainnya. Tak heran kalau
masalah duniawi dapat membuat kita terjerembab ke dalam lumpur dosa. Dunia akan
mempermainkan hati dan perasaan kita. Maka, tidak benar jika ada seseorang yang
merasa telah menaklukkan atau menguasai dunia. Sebab, yang terjadi justru manusia
menjadi bulan-bulanan permainan dunia.
Saudaraku yang
dirahmati ALLAH, kita tidak boleh terjebak dalam tujuan duniawi semata. Kenapa?
Sebab, itu persoalan mudah, sebagaimana mudahnya kehilangan kenikmatan yang
sudah kita raih di dunia. Kekayaan, kesuksesan, kenaikan pangkat atau jabatan
adalah hal yang remeh jika dibandingkan betapa hebatnya kenikmatan akhirat.
Ketika kita
menganggap istana, kendaraan mewah, perhiasan, serta kekayaan lain adalah
puncak kebahagiaan, saat itulah kita telah menetapkan target yang rendah dalam
pencapaian kebahagiaan. Sebab, semua yang tampak membahagiakan itu hanyalah
fatamorgana. Kekayaan hanyalah ‘baju’ yang sewaktu-waktu harus ditanggalkan.
Betapa banyak orang kaya yang muak dengan kekayaannya. Akhirnya, ia lari dari kehidupannya
dan menarik diri dari pergaulan sosial, tidak sedikit pula orang miskin yang
stres akibat terus menerus mengejar kekayaan.
Saudaraku yang
dirahmati ALLAH, mengapa kita tidak mengejar target tertinggi yaitu kebahagiaan
yang dijanjikan ALLAH SWT di akhirat kelak? Itulah puncak kebahagiaan tertinggi
yang mengungguli kebahagiaan yang lazim kita tafsirkan di dunia ini.
Kebahagiaan akhirat bersifat kekal dan abadi. Itulah kenikmatan dan kebahagiaan
yang sesungguhnya. Namun, kebanyakan kita lebih suka mengejar kebahagiaan dunia
yang sifatnya hanya sesaat. Karena, kita beranggapan bahwa kebahagiaan akhirat
bukan sesuatu yang pasti. Disinilah letak keimanan kita terbukti.
Orang yang mempunyai
kekuatan iman dan memahami dengan benar kalimat la ilaha illallah pantang
mengatakan bahwa akhirat bukan sesuatu yang pasti. Iman akan memberikan sinyal
yang kuat, tanpa keraguan sedikit pun, bahwa akhirat pasti akan datang.
Iman mempunyai
posisi yang sangat penting dalam kehidupan kita di dunia. Ia sangat menentukan sikap
kita dalam mengarungi lautan kehidupan. Iman yang lemah cenderung menyepelekan
akhirat dan malah mendorong harapan untuk meraih kebahagiaan dunia semakin
kuat. Mata kita buta akibat silau melihat kenikmatan dunia. Akhirnya, masa
depan pun menjadi gelap. Ketika kesengsaraan sejati kita alami di akhirat
nanti, barulah kita akan tersadar bahwa janji Allah itu benar.
Allahu Akbar.
Saudaraku yang
dirahmati ALLAH, kita tentu tidak ingin menjadi orang yang menyesal di hari
kemudian, saat semua kesengsaraan yang menimpa kita terlanjur terjadi. Kita
harus menyadari segalanya sejak awal, sebelum penderitaan nan panjang itu
benar-benar menimpa diri kita. Tetaplah waspada dengan godaan kenikmatan dunia,
meskipun tidak berarti kita harus meninggalkan aktivitas keduniaan.
Manfaatkanlah fasilitas duniawi yang kita peroleh sebagai kendaraan untuk
menunaikan ibadah kepada Allah dan menjadikannya sebagai jalan, bukan tujuan,
menuju akhirat.
Kehidupan dunia
hanyalah cermin dari kehidupan sesungguhnya yang ada di akhirat. Kemakmuran,
kesuksesan dan kebahagiaan yang tampak di dunia belum tentu demikian adanya di
akhirat. Sebagaimana cermin, bisa saja kenyataan berbicara sebaliknya, yaitu
kemakmuran di dunia justru tanda kesengsaraan di akhirat. Pernyataan ini bukan
bermaksud melarang kita menikmati kehidupan dunia. Sebab, dua ala ini memiliki
keterkaitan yang erat. Boleh saja kita menikmati kehidupan dunia, semata-mata
untuk berbuat saleh dan memberikan manfaat bagi kehidupan dunia. Sebab, apa
yang dinilai Allah saat memasuki akhirat adalah amal perbuatan kita saat di
dunia.
Itulah sebabnya,
kita dianjurkan senantiasa berdoa dan meminta keselamatan dalam menjalani
kehidupan di dunia dan akhirat. Rabbanaa aatinaa fid dun-yaa hasanah wa fil
aakhirati hasanah wa qinaa ‘adzaaban naar (Ya Tuhan kami,
anugerahkanlah kami keselamatan di dunia dan akhirat serta lindungilah kami
dari siksa neraka).
Saudaraku yang
dimuliakan ALLAH, keimanan kita harus menyatakan dengan mantap bahwa akhirat
lebih baik dibandingkan kehidupan dunia.
“Dan sungguh yang
kemudian (akhirat) itu, lebih baik bagimu daripada yang permulaan.” (QS.
Adh-Dhuha [93]: 4).
Dunia hanyalah
tempat untuk menyiapkan bekal bagi perjalanan yang harus kita lalui menuju
keabadian. Tanpa bekal yang cukup, di akhirat nanti, kita tidak akan menemukan
kebahagiaan. Bekal itu bukanlah harta atau jabatan, namun amal shaleh dan ridha
Allah. Jejak perilaku kita di dunialah yang akan berbicara di hadapan ALLAH
SWT.
Di akhirat, tidak
ada yang bisa menyelamatkan kita, malaikat sekali pun. Hanya amal shaleh yang
kita tanam di dunia saja yang mampu menyelamatkan kita. Amal-amal itu akan
berbicara sebagai pembela di hadapan pengadilan Allah. Dan, manusia hanya
terdiam menyaksikan kebenaran demi kebenaran diungkap. Tanpa manipulasi,
kebohongan, dan kemunafikan sebagaimana yang banyak terjadi pada pengadilan
dunia. Di pengadilan akhirat, seluruh anggota tubuh kita berbicara dan bersaksi
atas apa yang pernah diperbuatnya selama menjalani kehidupan di dunia. Tidak
satupun anggota badan yang berdiam diri. Semuanya menyampaikan pengakuan.
Saudaraku yang
dirahmati ALLAH, saatnya kita menentukan arah dan tujuan hidup. Apa yang kita
harapkan dari perjalanan singkat di dunia ini? Menumpuk harta
sebanyak-banyaknya atau justru hanya berdiam diri meratapi nasib apa adanya?
Hidup adalah
pilihan. Insya Allah, kalau kita tempuh adalah akhirat atau tujuan akhir, semua
hal kecil yang mengikutinya akan bisa kita raih.
Berbahagialah mereka
yang sudah berani mengambil tujuan akhirat sebagai harapan terbesar dalam
hidup. Sebaliknya, rugi dan celakalah pribadi-pribadi yang memperiotaskan dunia
dengan menumpuk-numpuk kekayaan yang pada akhirnya tidak dapat memberikan
manfaat, bahkan sebaliknya, justru mengundang masalah.
Dengan menghayati
kalimat La ilaha illallah yang terlantun dalam zikir, kita akan berani
mengambil keputusan yang meniscayakan iman, yaitu memperiotaskan kehidupan
akhirat, kehidupan yang belum kita tahu, namun sudah pasti akan kita temui.
Subhanakallahumma wabihamdika, asyhadu alla
ilaha illa Anta, astaghfiruka wa atubu ilaih.