RADAR ISLAM -- Sikap kritisnya terhadap logika keberadaan Tuhan membawanya pada
atheisme di usia remaja. Namun, kekalahan logikanya oleh Alquran sepuluh tahun
kemudian membimbing profesor Matematika ini pada Islam, agama yang pernah hadir
dalam mimpinya.
"Ayah,
apakah Tuhan itu benar-benar ada?" Jeffrey Lang kecil bertanya kepada
ayahnya saat berjalan-jalan bersama anjing peliharaannya di pantai, sekitar 50
tahun lalu.
Kini,
Jeffrey adalah seorang profesor Matematika yang memperoleh gelar master dan
doktor dari Purdue University, West Lafayette, Indiana pada 1981. Pertanyaan
yang pernah dilontarkannya saat masih kanak-kanak itu kini terjawab sudah.
Dosen dan peneliti di Universitas Kansas Amerika Serikat ini menemukannya dalam
Islam, 32 tahun lalu.
Lahir pada 30 Januari 1954 di Bridgeport, Connecticut, Jeffrey dibesarkan di tengah keluarga dan lingkungan Katolik Roma. Selama 18 tahun pertama dalam hidupnya, ia belajar di sekolah-sekolah Katolik, di mana ia bertemu pendeta dan teman-teman dari latar belakang agama yang sama.
Lahir pada 30 Januari 1954 di Bridgeport, Connecticut, Jeffrey dibesarkan di tengah keluarga dan lingkungan Katolik Roma. Selama 18 tahun pertama dalam hidupnya, ia belajar di sekolah-sekolah Katolik, di mana ia bertemu pendeta dan teman-teman dari latar belakang agama yang sama.
Hidup
di lingkungan Katolik tak begitu saja menjadikan Jeffrey seorang pemeluk agama
yang taat. Sikap kritis yang dimilikinya sejak kecil justru menjauhkannya dari
agama keluarganya itu. Diskusi-diskusi yang dibangunnya dengan orang tua,
pendeta sekolah, dan teman-teman sekolahnya tak pernah berhasil menjawab
pertanyaannya tentang keberadaan Tuhan.
“Pada
masa itu, aku sudah mulai banyak bertanya tentang nilai-nilai kehidupan, baik
secara politik, sosial, maupun keagamaan. Aku bahkan sering bertengkar dengan
banyak kalangan untuk memperdebatkan hal itu, termasuk dengan pemuka gereja
Katolik,’’ tulisnya dalam salah satu buku tentang perjalanannya menemukan
Islam.
Menjelang
kelulusannya dari sekolah Notre Dam Boys High, saat usianya 18 tahun, Jeffrey merasa kebuntuan logika tentang Tuhan hanya menyisakan satu pilihan baginya;
menjadi atheis. Sang ayah yang marah dengan pilihan Jeffrey berkata,
"Tuhan akan membuatmu tertunduk, Jeffrey."
Ucapan
ayahnya benar-benar terjadi. Jeffrey tertunduk dan bersimpuh di hadapan Tuhan
pada suatu malam, dalam sebuah mimpi.
Dalam
mimpinya, Jeffrey berada di dalam sebuah ruangan kecil yang tenang dan hening.
“Tak ada perabot apapun, tidak juga hiasan apapun di dindingnya yang berwarna
putih keabuan. Hanya ada karpet bermotif dengan warna dominan merah dan putih
menutupi lantai ruangan,” katanya.
Jeffrey
menambahkan, dirinya tak sendiri di dalam ruangan itu. Ia dan beberapa orang
lainnya berada dalam beberapa barisan. “Aku ada di barisan ketiga. Tak ada
perempuan di sana, hanya laki-laki. Kami semua duduk di atas tumit-tumit kami,
menghadap sebuah jendela kecil yang membawa cahaya yang terang benderang ke
dalam ruangan.”
Jeffrey
merasa asing karena tak mengenal siapapun, namun melakukan gerakan ruku’ dan
sujud bersama dan seirama. “Tenang sekali, seolah seluruh suara dimatikan,”
katanya. Masih dalam mimpinya, di tengah keheningan itu, Jeffrey tersadar bahwa
mereka dipimpin seseorang yang berdiri paling depan di bagian tengah ruangan.
“Ia berada di sisi kiriku, tepat di tengah ruangan, terpisah dari barisan.”
“Aku
hanya sempat melihatnya sekilas, pria itu memakai jubah panjang putih. Di
kepalanya terdapat sebuah kain putih dengan motif merah. Saat itulah aku
terbangun dari mimpiku.”
Mimpi
itu berulang kali menghampiri Jeffrey di sepanjang 10 tahun kehidupan tanpa
Tuhan yang dijalaninya. Karena sama sekali tak mengerti, Jeffrey
mengabaikannya. Hanya saja, satu hal yang tak dilupakan Jeffrey, “Aku selalu
merasa nyaman setiap terbangun dari mimpi aneh itu.”
***
Sepuluh
tahun kemudian, di hari pertamanya mengajar di University of San Fransisco,
Jeffrey bertemu seorang mahasiswa Muslim di kelas Matematika yang diampunya.
Dalam rentang waktu yang cukup singkat, Jeffrey telah menjalin pertemanan
dengan mahasiswa Muslim itu, juga keluarganya. Keduanya sering berbincang dan
berdiskusi, namun tak pernah membahas soal agama.
Hingga
pada suatu waktu, salah seorang keluarga mahasiswa Muslim itu memberi Jeffrey
sebuah salinan Alquran. Karena tak sedang mencari agama, dan sebagai seorang
ateis, Jeffrey membacanya dengan berbagai prasangka di otaknya.
Jeffrey
pun segera terlibat dalam apa yang disebutnya pergulatan. “Alquran menyerangku
secara langsung dan personal, mengkritik, mempermalukan, dan menantangku. Sejak
awal, kitab itu menorehkan garis peperangan, dan aku berada di wilayah yang
berseberangan,” katanya.
“Anda
tidak bisa hanya membaca Alquran. Tidak akan bisa jika Anda melakukannya dengan
serius. Pilihannya (ketika Anda membaca Alquran) adalah, pertama, Anda telah
menyerah padanya atau, kedua, Anda menantangnya.”
Jeffrey
kewalahan. Ia kebingungan. “Aku menderita kekalahan parah. Karena saat
membacanya, sangat jelas kurasakan bahwa Penulisnya (ALLAH SWT) mengetahui
tentangku lebih baik daripada aku mengenal diriku sendiri,” ujarnya takjub.
Ketakjuban
itu bertambah. Ketika Jeffrey memunculkan pertanyaan dan sanggahan baru dalam
otaknya setiap selesai membaca Alquran hingga bagian tertentu, ia segera
memperoleh jawabannya saat meneruskan bacaannya. “Seolah Penulis kitab itu
membaca pikiranku.”
“Alquran
selalu berada jauh di depan pemikiranku. Ia menghapus rintangan yang telah
kubangun bertahun-tahun lalu dan menjawab semua pertanyaanku,” katanya. Semakin
keras ia mencoba melawan dengan sanggahan dan pertanyaan, semakin jelas ia
memperoleh kekalahan dalam pergulatan itu. “Aku dituntun ke sebuah sudut di
mana hanya ada satu pilihan.”
***
Tahun
1982, Jeffrey mendapati sejumlah kecil mahasiswa Muslim memanfaatkan sebuah
ruangan kecil di basement gereja untuk shalat. Ia memberanikan diri mengunjungi
tempat itu pada suatu hari. Setelah beberapa jam di ruangan kecil itu, Jeffrey
keluar dengan sebuah identitas baru; Muslim.
Ia
telah bersyahadat di sana, beberapa saat menjelang tengah hari. Memasuki waktu
Dzuhur ia berbaur dan berdiri dalam barisan bersama para mahasiswa, dipimpin
seorang bernama Ghassan. Jeffrey menunaikan shalat pertamanya.
Jeffrey
terlarut dalam setiap gerakan shalat yang diikutinya. Saat menyelesaikan
gerakan sujud dan melakukan duduk iftirasy, Jeffrey melihat ke arah depan dan
melihat Ghassan. “Ia berada di sisi kiriku, di tengah-tengah di depan sana, di
bawah jendela yang menghujani ruangan dengan cahaya. Ia terpisah dari barisan,
mengenakan jubah putih, dengan selendang putih bermotif merah di kepalanya.”
“Mimpi
itu!,” teriaknya dalam hati. Setelah berhasil meyakinkan dirinya bahwa ia tak
sedang bermimpi, Jeffrey disergap rasa hangat yang mendamaikan hatinya.
Ia
berlutut dengan kening menyentuh lantai. Bagian tertinggi raganya yang penuh dengan
berbagai pengetahuan dan intelektualitas berada di titik terendah, dalam sebuah
penyerahan total kepada ALLAH SWT. Pipi Jeffrey basah oleh air mata.
0 komentar:
Posting Komentar