Sahabatku fillah, hidup ini bukan
untuk hidup tetapi hidup ini untuk Maha
Hidup, hidup bukan untuk mati, justru mati itu untuk hidup, jangan takut
mati, jangan cari mati dan jangan lupakan mati, karena mati bukanlah wafat,
mati hanya jasmani tetapi ruh wafat terus hidup di Alam kubur, mati bukanlah
akhir kisah hidup ini yang penuh sandiwara tetapi membuka tabir kisah hidup
sebenarnya, "Hari dibukanya semua rahasia" (QS 86:9).
Jadi,
tugas hidup ini adalah pengabdian kepada
ALLAH untuk itulah kita dihidupkan ALLAH (QS 51:56).
SubhanAllah. "Allahumma ya Allah jadikan hidup hamba dalam
keberkahan-Mu... Aamiin".
Menjadi
seorang pendeta adalah harapan kedua orang tuanya. Namun, kehendak Allah SWT
mengantarkan Bernard Nababan pada kebenaran Islam. Bahkan, ia akhirnya menjadi
juru dakwah dalam agama Islam.
***
Saya lahir di Tebing Tinggi, Sumatra
Utara, 10 November 1966. Saya anak ke-3 dari tujuh bersaudara. Kedua orang tua
memberi saya nama Bernard Nababan. Ayah saya adalah seorang pendeta Gereja HKBP
(Huria Kristen Batak Protestan) di Sumatra Utara. Sedangkan, ibu seorang
pemandu lagu-lagu rohani di gereja. Sejak kecil kami mendapat bimbingan dan
ajaran-ajaran kristiani. Orang tua saya sangat berharap salah seorang dari kami
harus menjadi seorang pendeta. Sayalah salah satu dari harapan mereka.
Kemudian, saya disekolahkan di
lingkungan yang khusus mendidik para calon pendeta, seperti Sekolah Pendidikan
Guru Agama (PGA) Kristen. Lalu berlanjut pada Sekolah Tinggi Teologi (STT)
Nomensen, yaitu sekolah untuk calon pendeta di Medan. Di kampus STT ini saya
mendapat pendidikan penuh. Saya wajib mengikuti kegiatan seminari. Kemudian,
saya diangkat menjadi Evangelist atau penginjil selama tiga tahun enam bulan
pada Gereja HKBP Sebagai calon pendeta dan penginjil pada Sekolah Tinggi
Teologi, saya bersama beberapa teman wajib mengadakan kegiatan di luar sekolah,
seperti KKN (Kuliah Kerja Nyata).
Tahun 1989 saya diutus bersama
beberapa teman untuk berkunjung ke suatu wilayah. Tujuan kegiatan ini, selain
untuk memberi bantuan sosial kepada masyarakat, khususnya masyarakat muslim,
juga untuk menyebarkan ajaran Injil. Dua prioritas inilah yang menjadi tujuan
kami berkunjung ke perkampungan muslim. Memang, sebagai penginjil kami
diwajiban untuk itu. Sebab, agama kami (Kristen) sangat menaruh perhatian dan
mengajarkan rasa kasih terhadap sesamanya.
Berdialog
Dalam kegiatan ini saya sangat
optimis. Namun, sebelum misi berjalan, saya bersama teman-teman harus
berhadapan dulu dengan para pemuka kampung. Mereka menanyakan maksud kedatangan
kami. Kami menjawab dengan terus terang. Keterusterangan kami ini oleh mereka
(tokoh masyarakat) dijawab dengan ajakan berdialog. Kami diajak ke rumah tokoh
masyarakat itu. Di sana kami mulai berdialog seputar kegiatan tersebut. Tokoh
masyarakat itu mengakui, tujuan kegiatan kami tersebut sangat baik. Namun, ia
mengingatkan agar jangan dimanfaatkan untuk menyebarkan agama. Mereka pada
prinsipnya siap dibantu, tapi tidak untuk pindah agama.
Agama Kristen, masih menurut tokoh
masyarakat itu, hanya diutus untuk Bani Israel (orang Israel) bukan untuk warga
di sini, Kami hanya diam. Akhirnya, tokoh masyarakat itu mulai membuka beberapa
kitab suci agama yang kami miliki, dari berbagai versi. Satu per satu kelemahan
Alkitab ia uraikan. la juga membahas buku Dialog Islam-Kristen antara K.H.
Baharudin Mudhari di Madura dengan seorang pendeta.
Dialog antara kami dan tokoh
masyarakat tersebut kemudian terhenti setelah terdengar azan magrib. Kemudian,
kami kembali ke asrama sebelum kegiatan itu berlangsung sukses. Dialog dengan
tokoh masyarakat tersebut terus membekas dalam pikiran saya. Lalu, saya pun
membaca buku Dialog Islam Kristen tersebut sampai 12 kali ulang. Lama-kelamaan
buku itu menpengaruhi pikiran saya. Saya mulai jarang praktek mengajar selama
tiga hari berturut-turut. Akhirnya, saya ditegur oleh pendeta. Pendeta itu
rupanya tahu saya berdialog dengan seseorang yang mengerti Alkitab. "Masa'
kamu kalah sama orang yang hanya tahu kelemahan Alkitab. Padahal kamu telah
belajar selama 3,5 tahun. Dan kamu juga pernah mengikuti kuliah seminari,"
katanya dengan nada menantang dan sinis.
Kabur dari Asrama
Sejak peristiwa itu, saya jadi lebih
banyak merenungkan kelemahan-kelemahan Alkitab. Benar juga apa yang dikatakan
tokoh masyarakat itu tentang kelemahan kitab suci umat Kristen ini. Akhirnya
saya putuskan untuk berhenti menjadi calon pendeta. Saya harus meninggalkan
asrama. Dan pada tengah malam, dengan tekad yang bulat saya lari meninggalkan
asrama. Saya tak tahu harus ke mana. Jika pulang ke rumah, pasti saya disuruh
balik ke asrama, dan tentu akan diinterogasi panjang lebar.
Kemudian saya pergi naik kendaraan,
entah ke mana. Dalam pelarian itu saya berkenalan dengan seorang muslim yang
berasal dari Pulau Jawa. Saya terangkan kepergian saya dan posisi saya yang
dalam bahaya. Oleh orang itu, saya dibawa ke kota Jember, Jawa Timur. Di sana
saya tinggal selama satu tahun. Saya dianggap seperti saudaranya sendiri. Saya
bekerja membantu mereka. Kerja apa saja. Dalam pelarian itu, saya sudah tidak
lagi menjalankan ajaran agama yang saya anut. Rasanya, saya kehilangan pegangan
hidup.
Selama tinggal di rumah orang muslim
tersebut, saya merasa tenteram. Saya sangat kagum padanya. Ia tidak pemah
mengajak, apalagi membujuk saya untuk memeluk agamanya. la sangat menghargai
kebebasan beragama. Dari sinilah saya mulai tertarik pada ajaran Islam. Saya
mulai bertanya tentang Islam kepadanya. Olehnya saya diajak untuk bertanya
lebih jauh kepada para ulama. Saya diajak ke rumah seorang pimpinan Pondok
Pesantren Rhoudhotul 'Ulum, yaitu K.H. Khotib Umar.
Kepada beliau saya utarakan
keinginan untuk mengetahui lebih jauh tentang ajaran Islam. Dan, saya jelaskan
perihal agama dan kegiatan saya. Tak lupa pula saya jelaskan tentang keraguan
saya pada isi Alkitab yang selama ini saya imam sebagai kitab suci, karena
terdapat kontradiksi pada ayat-ayatnya. Setelah saya jelaskan kelemahan Alkitab
secara panjang lebar, K.H. Khotib Umar tampak sangat terharu. Secara spontan
beliau merangkul saya sambil berkata, "Anda adalah orang yang beruntung,
karena Allah telah memberi pengetahuan pada Anda, sehingga Anda tahu bahwa
Alkitab itu banyak kelemahannya."
Setelah itu beliau mengatakan, jika
ingin mempelajari agama Islam secara utuh, itu memakan waktu lama. Sebab,
ajaran Islam itu sangat luas cakupannya. Tapi yang terpenting, menurut beliau
adalah dasar-dasar keimanan agama Islam, yang terangkum dalam rukun iman.
Masuk Islam
Dari uraian K.H. Khotib Umar tersebut
saya melihat ada perbedaan yang sangat jauh antara agama Islam dan Kristen yang
saya anut. Dalam agama Kristen, saya mengenal ada tiga Tuhan (dogma trinitas),
yaitu Tuhan Bapak, Tuhan Anak, dan Roh Kudus. Agama Kristen tidak mempercayai
kerasulan Muhammad SAW, Bahkan, mereka menuduhnya tukang kawin. Mereka juga
hanya percaya kepada tiga kitab suci, Taurat, Zabur, dan Injil.
Ajaran Kristen tidak mempercayai
adanya siksa kubur, karena mereka berkeyakinan setiap orang Kristen pasti masuk
surga. Yang terpenting bagi mereka adalah tentang penyaliban Yesus, yang pada
hakekatnya Yesus disalib untuk menebus dosa manusia di dunia.
Penjelasan K.H. Khotib Umar ini
sangat menyentuh hati saya. Penjelasan itu terus saya renungkan. Batin saya
berkata, penjelasaan itu sangat cocok dengan hati nurani saya. Lalu, kembali
saya bandingkan dengan agama Kristen. Ternyata agama Islam jauh lebih rasional
(masuk di akal) daripada agama Kristen yang selama ini saya anut. Oleh karena
itu saya berminat untuk memeluk agama Islam.
Keesokan harinya, saya pergi lagi ke
rumah KH. Khotib Umar untuk menyatakan niat masuk Islam. Beliau terkejut dengan
pernyataan saya yang sangat cepat. Beliau bertanya, "Apakah sudah
dipikirkan masak-masak?" "Sudah," suara saya meyakinkan dan
menyatakan diribahwa hati saya sudab mantap.
Lalu beliau membimbing saya untuk
mengucapkan dua kalimat syahadat. Sebelum ikrar saya ucapkan, beliau memberikan
penjelasan dan nasehat. Di antaranya, "Sebenarnya saat ini Anda bukan
masuk agama Islam, melainkan kembali kepada Islam. Karena dahulu pun Anda
dilahirkan dalam keadaan Islam. Lingkunganmulah yang menyesatkan kamu. Jadi,
pada hakikatnya Islam adalah fitrah bagi setiap individu manusia. Artinya,
keislaman manusia itu adalah sunnatullah, ketentuan Allah. Dan, menjauhi Islam
itu merupakan tindakan irrasional. Kembali kepada Islam berarti kembali kepada
fitrahnya," ujar beliau panjang lebar. Saya amat terharu. Tanpa terasa air
mata meleleh dari kedua mata saya.
Sehari setelah berikrar, saya pun
dikhitan. Nama saya diganti menjadi Syamsul Arifin Nababan. Saya
kemudian mendalami ajaran Islam kepada K.H. Khotib Umar dan menjadi santrinya.
Setelah belajar beberapa tahun di pondok pesantren, saya amat rindu pada
keluarga. Saya diizinkan pulang. Bahkan, beliau membekali uang Rp 10.000 untuk
pulang ke Sumatra Utara.
Dengan bekal itu saya akhirnya
berhasil sampai ke rumah orang tua. Dalam perjalanan, banyak kisah yang menarik
yang menunjukkan kekuasaan Allah. Sampai di rumah, ibu, kakak, dan semua adik
saya tidak lagi mengenali saya, karena saya mengenakan baju gamis dan
bersorban. Lalu, saya terangkan bahwa saya adalah Bernard Nababan yang dulu
kabur dari rumah. Saya jelaskan pula agama yang kini saya anut. Ibu saya amat
kaget dan shock. Kakak-kakak saya amat marah. Akhirnya saya diusir dari rumah.
Usiran merekalah yang membuat saya tegar. Saya
kemudian pergi ke beberapa kota untuk berdakwah. Alhamdulillah, dakwah-dakwah
saya mendapat sambutan dari saudara-saudara kmaum muslimin. Akhirnya saya
terdampar di kota Jakarta. Aktivitas dakwah saya makin berkembang. Untuk
mendalami ajaran-ajaran agama, saya pun aktif belajar di Ma'had al-Ulum
al-Islamiyah wal abiyah atau UPIA Jakarta.
Berikut Video Bernard Nababan (Syamsul Arifin Nababan ) : Kembali pada Islam
Sumber : http://mualaf.com Video : http://youtube.com
RADAR ISLAM -- Dawood, begitulah pria asal Inggris tersebut mengganti namanya
setelah memeluk Islam. Ia adalah mualaf yang gugur di medan jihad pada usianya
yang sangat muda, 29 tahun. Namanya begitu populer setelah memutuskan diri
untuk membela kaum Muslim dalam pertempuran melawan Pasukan Kroasia di Bosnia
pada 1993.
Ia dibesarkan dalam keluarga kristen. Sejak kecil, ia didik dengan doktrin
Kristen hingga menginjak dewasa. Setelah lulus kuliah, ia bekerja pada salah
satu perusahaan Komputer di Inggris.
Hingga suatu pagi, Dawood mengagetkan semua orang di kantornya. Tiba-tiba
saja, pagi itu ia muncul dengan cara berpakaian berbeda dari biasanya. Ia
berpakaian layaknya Muslim di Timur Tengah.
Ternyata, Dawood telah menjadi seorang Muslim. Pakaian yang bernuansa Muslim
itu pula yang membuatnya dipecat dari pekerjaannya.
Dawood muda kebingungan. Tidak hanya keluarga, tapi rekan-rekan ditempatnya
bekerja juga menolaknya. Karena dia sudah menjadi seorang Muslim. Tak ada yang
mau menerimanya ketika itu, selain saudara-saudaranya dari komunitas Muslim.
Ia memutuskan untuk berangkat ke Bosnia bersama dua orang rekan Muslimnya yang
lain. Mereka bergabung bersama Muslim Bosnia dengan tujuan bisa hidup secara
Islam dan ingin belajar ilmu-ilmu keislaman.
Empat
bulan telah berlalu. Beberapa rekannya dari Inggris mengajaknya untuk pulang ke
Inggris. Ia menolaknya. Akhirnya ia tetap menetap di Bosnia.
Ia seorang yang sangat cepat belajar ilmu-ilmu Islam. Dawood juga dengan cepat
menguasai bahasa Arab. Teman-temannya bercerita bahwa ia adalah seorang Muslim
yang taat dan teguh memelihara sunah. Ia termasuk sosok yang disayangi oleh
teman-teman dan saudara-saudaranya sesama Muslim di Bosnia.
Ia tidak melewatkan untuk shalat malam, walau cuaca teramat sangat dingin.
Bahkan ia sering berdoa sepanjang malam. Ia hanya tidur sebentar dengan posisi
tidur meringkuk ke kanan.
Setelah beberapa waktu kemudian, ia bergabung dengan mujahidin Bosnia dibawah
komando Abul Harith. Komandannya juga sangat menyayangi Dawood karena
kasalehannya.
***
Malam
sebelum Dawood gugur di medan pertempuran, ia sempat bermimpi. Dalam mimpi
tersebut, ia berjalan di antara dua sisi istana yang sangat besar dan
megah.
Ia sempat bertanya "Siapakah pemilik Istana yang megah ini ?"
"Inilah milik salah seorang syuhada" begitulah jawaban dari mimpinya
itu.
Dawood bertanya lagi, "Dimanakah istana milik Abu Ibrahim?" Abu
Ibrahim adalah salah seorang teman dekat Dawood yang berkebangsaan Turki.
Mereka dahulu bersama-sama datang dari Inggris. Abu Ibrahim ditembak mati oleh
PBB Prancis didekat Bandara Sarajevo.
Suara dalam mimpi Dawood tersebut menjawab "Istana Abu Ibrahim ada di
sana".
Dalam mimpi itu Dawood berlari menuju rumah teman dekatnya Abu Ibrahim. Dalam
berlari itu ia terjatuh hingga ia bangun dari tidurnya kemudian menceritakan
mimpinya.
Komandannya Abul Haristh sudah menduga bahwa Dawood mungkin akan gugur di medan
pertempuran berikutnya setelah mendengar cerita mimpi Dawood. Mungkin saja ia
akan segera menyusul sahabatnya Abu Ibrahim, karena ia ceritakan dalam mimpinya
bahwa ia berlari menuju Istana Abu Ibrahim.
Keesokan harinya Dawood terlibat dalam sebuah operasi militer melawan Pasukan
Kroasia. Dawood tertembak tepat di jantungnya dan tewas seketika. Ia berguling
ke bawah bunker Kroasia yang mengakibatkan jasadnya tidak bisa diambil.
Setelah tiga bulan berikutnya, barulah jasad Dawood ditemukan oleh Pasukan
Mujahidin. Diceritakan oleh Komandannya Abul Haritsh bahwa jasad Dawood saat
ditemukan sudah berbau kesturi. Jasad tersebut ditemukan seperti posisi Dawood
tertidur yaitu meringkuk menghadap ke kanan. Subhanallah... Sumber
: http://republika.co.id/
RADAR ISLAM -- Semua
berawal dari kesalahan yang tak mampu ia hindari pada 1975 silam. Tahun itu
menjadi tahun pertama penggunaan komputer untuk pemrograman mata kuliah di
kampusnya. Tak disangkanya, terjadi kesalahan sehingga komputer memasukkan
Aminah dalam mata kuliah yang tak pernah dipilihnya; Teater.
Sayangnya, Aminah baru mengetahui kesalahan itu setelah hari
aktif perkuliahan memasuki minggu kedua karena harus mengurus bisnis
keluarganya di Oklahoma. Perubahan tak bisa dilakukan. Dan Aminah yang
berkuliah dengan beasiswa penuh tak mungkin meninggalkan kelas itu dan
memperoleh nilai 'F' yang akan membatalkan beasiswanya.
Aminah adalah perempuan cerdas yang selalu tampil menonjol. Selain memperoleh
beasiswa untuk kuliahnya, jemaat Southern Baptist (aliran gereja Protestan
terbesar di Amerika Serikat) ini bekerja sebagai jurnalis penyiaran dan
memenangkan penghargaan yang diperuntukkan bagi para profesional.
“Namun satu hal lain tentang diriku adalah bahwa aku seorang
yang pemalu,” katanya. Karena itulah, Aminah merasa kacau ketika harus
mengikuti kelas yang mengharuskannya tampil di hadapan sejumlah orang.
Atas saran suaminya, Aminah memilih mencari solusi daripada
mengorbankan beasiswanya. Ia mendatangi dosennya untuk meminta saran dan
bantuan terkait perencanaan pertunjukan yang harus ia tampilkan. Sang dosen
menyanggupi dan Aminah segera menuju kelas Teater untuk pertama kalinya.
Di pintu kelas, Aminah tak mempercayai pandangannya. “Aku
melihat sejumlah orang Arab (Muslim) di sana. Tak ada yang terlintas dalam
benakku kecuali membatalkan niatku mengikuti kelas itu. Aku tidak mungkin
berada di antara orang-orang kafir itu,” kisahnya dalam buku 'Choosing Islam'
yang ditulisnya.
Tanpa pikir panjang, Aminah kembali menutup pintu kelasnya
dan berjalan pulang. Di rumah, ia kembali ditenangkan suaminya. “Ia bilang,
‘Mungkin Tuhan punya rencana di balik ini’.
Dua hari lamanya Aminah berdiam dalam kamarnya. Setelah
berpikir panjang, ia membenarkan kata-kata suaminya dan berpikir mungkin dalam
kelas Teater itu ia bisa mengkristenkan orang-orang berhijab di kelasnya.
Maka, Aminah mulai berbicara banyak hal tentang Kristen dan
Yesus pada teman-teman Muslimnya, dan mengatakan mereka akan masuk surga jika
mempercayai Yesus sebagai Tuhan dan juru selamat mereka. “Mereka menyikapi
penjelasanku dengan sangat sopan, namun tak satupun dari mereka masuk agamaku,”
ungkap Aminah.
Aminah tak menyerah. Ia pun berencana mencari kelemahan dan
kesalahan Islam, yakni dengan mempelajari kitab mereka. Dari salah seorang
temannya, Aminah mendapatkan salinan Alquran. Ia tekun membaca dan
mempelajarinya setelah itu, dan membuat catatan-catatan mengenai hal-hal dalam
Alquran yang dapat diperdebatkan. “Niatku masih sama, mengkristenkan mereka,”
tegas dia.
Tanpa ia sadari, keseriusan Aminah mempelajari Alquran
justru membawa perubahan pada dirinya. Ia tidak lagi tertarik untuk pergi ke
pesta dan klub-klub malam, aktivitas yang biasa ia lakukan bersama suaminya.
“Suamiku menaruh curiga dan mengira aku selingkuh. Lalu ia mengusirku dari
rumah,” jelas dia.
Setelah berpindah ke apartemen yang baru bersama kedua
anaknya, misi Aminah tak berubah. Ia terus mendalami Alquran untuk
mengkristenkan teman-teman Muslimnya di kelas Teater.
Satu setengah tahun sejak mulai mempelajari Alquran, pada 21
Mei 1977, seseorang mengetuk pintu apartemennya. Aminah terkejut mengetahui
tamunya adalah seorang pria dengan pakaian panjang berwarna putih, dengan kain
surban di kepalanya. Pria itu didampingi tiga orang pria lain, pria itu mengatakan,
“Saya tahu Anda ingin menjadi seorang Muslim.”
Aminah membantahnya dan mengatakan dirinya adalah seorang
Kristiani yang tidak pernah berkeinginan masuk Islam. “Namun kukatakan padanya
bahwa aku memiliki beberapa pertanyaan jika ia tidak keberatan.” Maka Aminah
mempersilahkan keempatnya masuk.
Aminah mengeluarkan catatan-catatan yang telah dibuatnya dan
menanyakannya pada pria yang mengaku bernama Abdul Aziz al-Shiek itu, yang
sabar menjawab semua pertanyaan Aminah. “Pria itu menjelaskan, mencapai pengetahuan
tentang segala sesuatu adalah seperti menapaki anak-anak tangga. Jika aku
melangkah tergesa-gesa dan melewati beberapa anak tangga sekaligus, aku bisa
jatuh.”
Setelah berbincang dan mendiskusikan banyak hal, di hari
yang sama, Aminah mengambil keputusan besar. Ia bersyahadat di hadapan keempat
tamunya. “Namun aku belum bisa menerima beberapa hal dalam Islam, sehingga di
belakang dua kalimat syahadat yang kuucapkan, aku menambahkan pengecualian,
‘Tapi aku tidak akan mau menutup rambutku dengan kerudung dan tidak akan pernah
setuju dengan poligami',” kenangnya.
Namun di atas semua, kata Aminah, syahadat yang diucapkannya hari itu menjadi
langkah awal yang mengubah hidupnya. “Islam adalah hidupku. Islam adalah detak
jantungku, darah yang mengalir di pembuluh venaku. Islam adalah kekuatanku,
yang membuat hidupku begitu indah dan mengagumkan. Tanpa Islam, aku bukanlah
apa-apa," katanya seperti dikutip laman www.welcome-back.org.
Aminah terus mendalami Islam, dan menjadi aktivis Islam yang
giat berdakwah hingga akhir hayatnya. Empat tahun lalu, 5 Maret 2010, sebuah
kecelakaan mobil di New York menewaskan perempuan luar biasa ini, dalam sebuah
perjalanan pulangnya usai menyampaikan pesan tentang Islam.
RADAR ISLAM, WASHINGTON -- Pencarian Natassia M. Kelly untuk mengisi kekosongan jiwanya kembali berlanjut, saat temannya memberikan sebuah buku berjudul 'Dialog Muslim-Kristen'. Usai membaca buku tersebut ia pun merasa malu, sebab saat pencarian kebenaran ia tidak pernah menganggap agama lain.
"Yang aku tahu hanya Kristen. Pengetahuanku tentang Islam sangat minim. Tapi buku ini mengejutkan saya. Sebab, bukan aku saja yang percaya adanya Tuhan. Aku pun meminta lebih banyak buku," ungkap dia.
Sejak itu, Natassia mulai belajar Islam dari aspek intelektual. Beruntung ia memiliki teman dekat seorang Muslim. Ia pun sering bertanya padanya tentang Islam. Dari pertemanan itu, ia mulai mengenal Islam, sebuah agama yang sebelumnya begitu asing baginya.
Setelah beberapa bulan mencari tahu tentang Islam, umat Muslim menyambut bulan Ramadhan. Saat itu umat Muslim menjalani ibadah puasa di bulan Ramadhan. Selama bulan Ramadhan, setiap Jumat ia bergabung dengan komunitas Muslim setempat untuk sekedar berbuka puasa dan membaca Alquran. Ia manfaatkan betul momen itu untuk banyak bertanya tentang Islam. "Aku begitu kagum bagaimana ada individu yang begitu mantap menjalani apa yang diyakininya," kenang Natassia.
Perkenalan demi perkenalan dengan Islam mulai mengisi kekosongan iman dalam diri Natassia. Menurutnya, Islam mulai menuntunnya ke jalan yang benar. Tapi itu tidak cukup bagi Natassia. Ia mengharapkan adanya keteraturan dalam hidupnya. "Aku menginginkan pula kedekatan dengan Tuhan. Aku tidak membutuhkan seseorang yang menjamin tiket ke surga. Aku mulai merasa, Kristen tidak memberikan apa yang aku butuhkan. Sementara Islam memenuhi kebutuhanku," ucapnya.
Perkenalan Natassia dengan Islam berlangsung intensif. Ia pun ikut merayakan Idul Fitri dan pengajian rutin bersama teman-temannya. Tanpa terasa, Natassia tidak menyadari dirinya mulai merasakan ketenangan pikiran. Sebuah ketenangan yang ia cari selama ini. "Awal Februari 1997, aku mulai menyadari Islam merupakan kebenaran yang aku cari. Tapi aku tidak mau membuat putusan tergesa-gesa," kisah dia.
Suatu ketika, Natassia bermimpi. Dalam mimpinya itu, Natassia dirayu setan untuk mengikutinya. Tapi ia lebih memilih mengucapkan dua kalimat syahadat. Putusan itu membuat dirinya begitu damai dan tenang. Ia pun terbangun. Mimpi itu lantas ia ceritakan kepada teman-temannya. "Temanku mengatakan mimpi itu pertanda dirinya harus memilih," kata Natassia menirukan saran temannya.
Pada 19 Maret 1997, setelah pulang dari pengajian, Natassia memutuskan untuk memeluk Islam. "Aku tidak bisa mengungkapkan sukacita yang kurasakan. Aku tidak bisa mengungkap betapa beban berat telah terangkat dalam bahu saya. Aku pun berhasil mendamaikan pikiranku," ujarnya.
Semakin Baik
Lima bulan sejak Natassia memeluk Islam, ia merasa dirinya kian membaik. Ia begitu kuat dalam memahami banyak hal. Hidupnya lebih teratur. Kekosongan dalam dirinya berangsur terisi dalam nikmat sebagai Muslim. "Hidup saya berubah drastis," katanya.
Kini, Natassia berusaha untuk menjadi Muslim yang baik. Ia tidak pernah berhenti belajar mendalami Islam. "Alhamdulillah, dari umur 15 tahun, aku telah menemukan kebenaran yang aku cari," ucapnya.
Natassia menyadari menjadi Muslim yang baik ditengah non Muslim merupakan hal sulit. Ia tidak berkecil hati dengan kondisi itu. Sebab, keinginannya untuk mendalami Islam melebihi tantangan yang ada dihadapannya.
"Aku percaya, keinginanku lebih kuat dari apapun. Seseorang telah berkata padaku bahwa aku lebih baik dari orang yang terlahir sebagai Muslim. Aku punya bermimpi untuk membantu orang lain untuk melalui apa yang dahulu pernah kulakukan," pungkasnya.