RADAR ISLAM -- Semua
berawal dari kesalahan yang tak mampu ia hindari pada 1975 silam. Tahun itu
menjadi tahun pertama penggunaan komputer untuk pemrograman mata kuliah di
kampusnya. Tak disangkanya, terjadi kesalahan sehingga komputer memasukkan
Aminah dalam mata kuliah yang tak pernah dipilihnya; Teater.
Sayangnya, Aminah baru mengetahui kesalahan itu setelah hari
aktif perkuliahan memasuki minggu kedua karena harus mengurus bisnis
keluarganya di Oklahoma. Perubahan tak bisa dilakukan. Dan Aminah yang
berkuliah dengan beasiswa penuh tak mungkin meninggalkan kelas itu dan
memperoleh nilai 'F' yang akan membatalkan beasiswanya.
Aminah adalah perempuan cerdas yang selalu tampil menonjol. Selain memperoleh beasiswa untuk kuliahnya, jemaat Southern Baptist (aliran gereja Protestan terbesar di Amerika Serikat) ini bekerja sebagai jurnalis penyiaran dan memenangkan penghargaan yang diperuntukkan bagi para profesional.
Aminah adalah perempuan cerdas yang selalu tampil menonjol. Selain memperoleh beasiswa untuk kuliahnya, jemaat Southern Baptist (aliran gereja Protestan terbesar di Amerika Serikat) ini bekerja sebagai jurnalis penyiaran dan memenangkan penghargaan yang diperuntukkan bagi para profesional.
“Namun satu hal lain tentang diriku adalah bahwa aku seorang
yang pemalu,” katanya. Karena itulah, Aminah merasa kacau ketika harus
mengikuti kelas yang mengharuskannya tampil di hadapan sejumlah orang.
Atas saran suaminya, Aminah memilih mencari solusi daripada
mengorbankan beasiswanya. Ia mendatangi dosennya untuk meminta saran dan
bantuan terkait perencanaan pertunjukan yang harus ia tampilkan. Sang dosen
menyanggupi dan Aminah segera menuju kelas Teater untuk pertama kalinya.
Di pintu kelas, Aminah tak mempercayai pandangannya. “Aku
melihat sejumlah orang Arab (Muslim) di sana. Tak ada yang terlintas dalam
benakku kecuali membatalkan niatku mengikuti kelas itu. Aku tidak mungkin
berada di antara orang-orang kafir itu,” kisahnya dalam buku 'Choosing Islam'
yang ditulisnya.
Tanpa pikir panjang, Aminah kembali menutup pintu kelasnya
dan berjalan pulang. Di rumah, ia kembali ditenangkan suaminya. “Ia bilang,
‘Mungkin Tuhan punya rencana di balik ini’.
Dua hari lamanya Aminah berdiam dalam kamarnya. Setelah
berpikir panjang, ia membenarkan kata-kata suaminya dan berpikir mungkin dalam
kelas Teater itu ia bisa mengkristenkan orang-orang berhijab di kelasnya.
Maka, Aminah mulai berbicara banyak hal tentang Kristen dan
Yesus pada teman-teman Muslimnya, dan mengatakan mereka akan masuk surga jika
mempercayai Yesus sebagai Tuhan dan juru selamat mereka. “Mereka menyikapi
penjelasanku dengan sangat sopan, namun tak satupun dari mereka masuk agamaku,”
ungkap Aminah.
Aminah tak menyerah. Ia pun berencana mencari kelemahan dan
kesalahan Islam, yakni dengan mempelajari kitab mereka. Dari salah seorang
temannya, Aminah mendapatkan salinan Alquran. Ia tekun membaca dan
mempelajarinya setelah itu, dan membuat catatan-catatan mengenai hal-hal dalam
Alquran yang dapat diperdebatkan. “Niatku masih sama, mengkristenkan mereka,”
tegas dia.
Tanpa ia sadari, keseriusan Aminah mempelajari Alquran
justru membawa perubahan pada dirinya. Ia tidak lagi tertarik untuk pergi ke
pesta dan klub-klub malam, aktivitas yang biasa ia lakukan bersama suaminya.
“Suamiku menaruh curiga dan mengira aku selingkuh. Lalu ia mengusirku dari
rumah,” jelas dia.
Setelah berpindah ke apartemen yang baru bersama kedua
anaknya, misi Aminah tak berubah. Ia terus mendalami Alquran untuk
mengkristenkan teman-teman Muslimnya di kelas Teater.
Satu setengah tahun sejak mulai mempelajari Alquran, pada 21
Mei 1977, seseorang mengetuk pintu apartemennya. Aminah terkejut mengetahui
tamunya adalah seorang pria dengan pakaian panjang berwarna putih, dengan kain
surban di kepalanya. Pria itu didampingi tiga orang pria lain, pria itu mengatakan,
“Saya tahu Anda ingin menjadi seorang Muslim.”
Aminah membantahnya dan mengatakan dirinya adalah seorang
Kristiani yang tidak pernah berkeinginan masuk Islam. “Namun kukatakan padanya
bahwa aku memiliki beberapa pertanyaan jika ia tidak keberatan.” Maka Aminah
mempersilahkan keempatnya masuk.
Aminah mengeluarkan catatan-catatan yang telah dibuatnya dan
menanyakannya pada pria yang mengaku bernama Abdul Aziz al-Shiek itu, yang
sabar menjawab semua pertanyaan Aminah. “Pria itu menjelaskan, mencapai pengetahuan
tentang segala sesuatu adalah seperti menapaki anak-anak tangga. Jika aku
melangkah tergesa-gesa dan melewati beberapa anak tangga sekaligus, aku bisa
jatuh.”
Setelah berbincang dan mendiskusikan banyak hal, di hari
yang sama, Aminah mengambil keputusan besar. Ia bersyahadat di hadapan keempat
tamunya. “Namun aku belum bisa menerima beberapa hal dalam Islam, sehingga di
belakang dua kalimat syahadat yang kuucapkan, aku menambahkan pengecualian,
‘Tapi aku tidak akan mau menutup rambutku dengan kerudung dan tidak akan pernah
setuju dengan poligami',” kenangnya.
Namun di atas semua, kata Aminah, syahadat yang diucapkannya hari itu menjadi langkah awal yang mengubah hidupnya. “Islam adalah hidupku. Islam adalah detak jantungku, darah yang mengalir di pembuluh venaku. Islam adalah kekuatanku, yang membuat hidupku begitu indah dan mengagumkan. Tanpa Islam, aku bukanlah apa-apa," katanya seperti dikutip laman www.welcome-back.org.
Namun di atas semua, kata Aminah, syahadat yang diucapkannya hari itu menjadi langkah awal yang mengubah hidupnya. “Islam adalah hidupku. Islam adalah detak jantungku, darah yang mengalir di pembuluh venaku. Islam adalah kekuatanku, yang membuat hidupku begitu indah dan mengagumkan. Tanpa Islam, aku bukanlah apa-apa," katanya seperti dikutip laman www.welcome-back.org.
Aminah terus mendalami Islam, dan menjadi aktivis Islam yang
giat berdakwah hingga akhir hayatnya. Empat tahun lalu, 5 Maret 2010, sebuah
kecelakaan mobil di New York menewaskan perempuan luar biasa ini, dalam sebuah
perjalanan pulangnya usai menyampaikan pesan tentang Islam.
0 komentar:
Posting Komentar